Mengenal Megengan, Tradisi Ungkapan Syukur yang Erat Dilakukan Masyarakat Jelang Ramadan

Megengan di Pendopo Kabupaten Jombang.
Megengan di pendopo kabupaten Jombang

Jombang – Menjelang bulan Ramadan yang jatuh pada Minggu (3/4/2022) besok. Ada beberapa tradisi yang biasanya lekat dengan masyarakat Jawa Timur, khususnya Kabupaten Jombang. Tradisi tersebut adalah ‘Megengan’.

Menurut salah satu tokoh agama di Desa Jogoroto, Kecamatan Jogoroto, Jombang KH Na’imul Umam, tradisi ‘Megengan’ lahir ketika masa kerajaan Islam Demak sekitar tahun 1.500 Masehi. Pada saat masa itu, tradisi ini berupa kenduri atau slametan.

Kenduri atau Slametan lumrah terjadi di pulau Jawa, jauh sebelum Agama Islam masuk ke Nusantara, Kenduri sudah ada lebih dulu. Berjalannya waktu, hingga pada akhirnya Agama Islam masuk, terjadilah proses Akulturasi budaya.

Dalam megengan atau selamatan, biasanya juga dibarengi dengan doa bersama. “Tradisi ini sudah biasa terjadi di Pulau Jawa. Yang membedakan itu hanya penamaan nya saja, kalau masyarakat Jawa Timur dinamakan Megengan, beda lagi denga Jawa Tengah yang menyebutnya Nyadran,” ucapnya pada Sabtu (2/4/2022).

Maksud dari tradisi yang biasanya dilakukan menjelang bulan Ramadan ini, punya tujuan agar mengharuskan kita sebagai manusia mampu menahan segala hawa nafsu. Megengan, biasa dilakukan pada minggu terakhir bulan Sya’ban menjelang bulan Ramadan

“Megengan ini dulunya dilakukan di setiap rumah penduduk, yah makan bersama. Tapi waktu kan terus berkembang, begitu juga dengan zamannya sehingga terjadi pergeseran. Sekarang Megengan itu biasanya mengantarkan hantaran makanan ke rumah tetangga atau musala,” ungkapnya.

Dalam tradisi Megengan terdapat satu makanan yang tak pernah luput untuk dihidangkan, yakmj kue Apem. “Apem ini dulu makanan elit kerajaan. Kue berbahan dasar tepung beras ini menjadi kue wajib dalam penyelenggaraan Megengan untuk saat ini. Kue Apem itu simbol untuk memohon ampun kepada Allah SWT atas segala perbuatan yang telah kita lakukan selama setahun lalu,” pungkasnya.

Sementara itu, menurut budayawan Jombang, Nasrul Illah, Megengan sudah ada sebelum dirinya lahir. Artinya, sejak dulu tradisi ini memang erat kaitannya dengan budaya daerah.

“Jauh sebelum saya lahir sudah ada. Kalau sekarang, orang minta maaf cukup lewat WA. Dulu minta maaf dengan ngomong saja, gak patas rasanya. Maka akhirnya weweh (nguwehi) apem (afwan) sebagai simbol minta maaf. Selain melalui weweh, juga dibawa ke masjid, langgar, musala untuk di makan bareng atau ditukarkan dengan menggeser ke peserta di sebelahnya secara urut,” jelasnya.

Ia juga menjelaskan, dalam tradisi Megengan juga terdapat beberapa kegiatan lain didalamnya.

“Kalau megengan itu, artinya ngempet/menahan. Megengan, maksud atau fungsinya sebagai entry point atau gerbang menuju bulan menahan nafsu lahir batin, puasa Ramadan,” katanya.

“Tradisi yang mengikuti itu seperti weweh, bancaan, Grebeg Gunungan Apem, Tedur Habis Ashar membunyikan Bedug di Masjid dan Musala dengan Irama Khusus, Nyadran atau Ziarah dan membersihkan Makam leluhur dari tiap keluarga masing-masing, Gugur Gunung atau kerja bakti membersihkan makam secara bersama, Thek-thok, musik patrol menjelang sahur, untuk membangunkan yang berpuasa,” lanjut pria yang akrab disapa Cak Nas ini.

Adik kandung dari budayawan Emha Ainun Najib atau Cak Nun ini mengatakan Megengan sudah ada sejak mada Kerajaan Islam yakni Demak, Pajang Mataram, dan seterusnya. Megengan juga dianggap sebagai ungkapan rasa syukur kepada tuhan.

“Karena kedatangan puasa Ramadan memang semestinya disyukuri, karena ditunggu-tunggu umat Islam, sebagai bulan yang penuh berkah dan ampunan. Doa waktu Idul Fitri tahun sebelumnya adalah, Semoga Dipertemukan Bulan Romadhan berikutnya,” tukasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *