Urgensi Keterampilan Komunikasi Siswa

Oleh: Zainal Muttaqin*

Pendidikan bukan sekadar proses transfer ilmu, melainkan seni membentuk manusia seutuhnya. Dalam ajaran Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, tersimpan filosofi mendalam: “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Pemimpin atau pendidik ideal adalah mereka yang mampu memberi teladan, membangun semangat, dan mendorong kemandirian. Nilai ini menempatkan komunikasi sebagai poros utama dalam pendidikan.

Tanpa komunikasi yang baik, pesan pendidikan tak akan sampai. Keterampilan komunikasi menjadi jembatan antara pemahaman, ekspresi, dan keterlibatan. Sayangnya, di era digital, kemampuan ini justru kian menipis. Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2025 menjadi saat yang tepat untuk bertanya: sudahkah kita menyiapkan peserta didik dengan keterampilan komunikasi yang baik, efektif, dan manusiawi?

Krisis Keterampilan Komunikasi

Kemajuan teknologi telah memudahkan akses terhadap informasi dan mempercepat proses belajar mengajar. Namun, di sisi lain, perkembangan ini memunculkan ironi. Keterhubungan yang begitu luas melalui gawai dan media sosial ternyata tidak diimbangi dengan kemampuan komunikasi yang memadai di kehidupan nyata. Banyak siswa lebih nyaman berinteraksi melalui layar dibandingkan menyampaikan pendapat secara langsung. Mereka fasih mengetik pesan singkat, namun kaku ketika harus berbicara di depan umum atau berargumentasi secara terbuka.

Asosiasi Psikologi Sekolah Indonesia (APSI) mencatat peningkatan kasus kecemasan sosial di kalangan pelajar pasca pandemi. Hal ini diduga kuat berkaitan dengan terbatasnya interaksi fisik dan ketergantungan terhadap ruang digital. Sementara itu, data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2024 menunjukkan bahwa sebanyak 62% siswa sekolah dasar dan menengah lebih banyak menghabiskan waktu dengan perangkat elektronik dibandingkan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya secara langsung.

Kurikulum Kurang Relevan

Perubahan kurikulum yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir memang menunjukkan upaya untuk menjawab dinamika zaman. Namun, perlu diakui bahwa kurikulum kita masih cenderung menitikberatkan pada aspek akademik dan kognitif, sementara aspek keterampilan lunak—termasuk kemampuan komunikasi—belum memperoleh ruang yang memadai. Belum terdapat mata pelajaran atau program khusus yang secara sistematis mengasah kemampuan berbicara, mendengar aktif, menulis persuasif, ataupun berkomunikasi empatik di sekolah-sekolah kita.

Padahal, menurut laporan Future of Jobs Report dari World Economic Forum tahun 2023, keterampilan komunikasi termasuk dalam tiga besar kompetensi yang paling dibutuhkan dalam dunia kerja masa depan. Tanpa kemampuan ini, seseorang akan kesulitan menyampaikan ide, bekerja sama dalam tim, maupun membangun relasi profesional yang produktif.

Metode Kurang Efektif

Keterampilan komunikasi yang rendah juga berkorelasi dengan metode pembelajaran yang masih bersifat satu arah. Di banyak sekolah, proses belajar mengajar masih berpusat pada guru dan minim interaksi dua arah yang bermakna. Akibatnya, siswa jarang terlatih untuk menyampaikan gagasan secara lisan, berdiskusi, atau membangun narasi dengan baik. Kondisi ini berdampak langsung pada rendahnya literasi siswa, tidak hanya dalam membaca dan menulis, tetapi juga dalam menyampaikan dan memahami pesan secara utuh.

UNESCO menekankan bahwa literasi tidak hanya mencakup kemampuan membaca buku, melainkan juga kemampuan memahami, menanggapi, serta mengekspresikan pikiran secara jelas dan logis. Di samping itu, aktivitas motorik dan interaksi sosial anak yang semakin berkurang akibat penggunaan gawai secara berlebihan turut menghambat perkembangan aspek kinestetik dan emosional. Hal ini disampaikan oleh Prof. Dr. Rose Mini Agoes Salim, psikolog dari Universitas Indonesia, yang menyebut bahwa pembatasan aktivitas fisik dan sosial pada anak berpengaruh signifikan terhadap perkembangan komunikasi yang sehat dan adaptif.

Informasi Semakin Bising

Di era media sosial, siswa dihadapkan pada arus informasi yang tak tersaring. Tanpa kemampuan komunikasi kritis dan literasi digital, mereka menjadi konsumen pasif yang mudah terseret hoaks dan disinformasi. Kemampuan menyaring makna dan memahami konteks sangat penting agar tidak terjebak dalam kebisingan digital yang miskin nilai.

Profesor Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Rachmat Kriyantono, Ph.D., dalam bukunya Teknik Praktis Riset Komunikasi, menekankan bahwa komunikasi bukan sekadar menyampaikan pesan, melainkan membangun pengertian, menyaring makna, dan menjembatani pengetahuan dengan tindakan. Tanpa itu, semua kompetensi akademik tak punya arah.

Dunia Kerja Dinamis

Keterampilan komunikasi sangat dibutuhkan tidak hanya dalam kehidupan akademik, tetapi juga dalam konteks profesional. Dunia kerja masa depan menuntut sumber daya manusia yang tidak hanya cakap secara intelektual, tetapi juga mampu berkolaborasi, berempati, serta membangun komunikasi yang konstruktif.

Sayangnya, survei yang dilakukan oleh Talent Mapping Indonesia dan diterbitkan oleh Universitas Dinamika tahun 2023 mengungkapkan bahwa hanya 18% lulusan SMA/SMK di Indonesia yang merasa percaya diri untuk berbicara di depan umum. Ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan mencerminkan persoalan sistemik dalam pendidikan kita—bahwa komunikasi belum ditempatkan sebagai kompetensi utama yang perlu dilatih dan dikembangkan sejak dini.

Arah Pendidikan Baru

Sudah saatnya pendidikan di Indonesia mengubah arah. Keterampilan komunikasi tidak dapat lagi diposisikan sebagai pelengkap, melainkan harus menjadi bagian inti dari proses pembelajaran. Beberapa langkah konkret yang dapat diambil antara lain: (1) Mengintegrasikan mata pelajaran atau modul khusus komunikasi dalam kurikulum; (2) Memberikan pelatihan keterampilan komunikasi interpersonal bagi guru dan siswa; (3) Menerapkan model pembelajaran berbasis proyek dan presentasi; (4) Membangun budaya dialog, diskusi terbuka, dan saling mendengar di sekolah; dan (5) Memperkuat gerakan literasi digital dan etika komunikasi di lingkungan pendidikan.

Menyongsong Masa Depan

Pendidikan ideal tidak hanya mencetak siswa berpengetahuan, tetapi juga komunikatif. Di tengah era disrupsi, komunikasi adalah keterampilan yang akan menentukan arah dan masa depan seseorang. Maka, Hari Pendidikan Nasional 2025 hendaknya menjadi pengingat bahwa keberhasilan pendidikan tidak cukup diukur dari nilai akademik, tetapi juga dari kemampuan siswa dalam memahami dan dipahami.

Masa depan bukan milik mereka yang tahu banyak, tetapi mereka yang mampu menyuarakan apa yang mereka tahu dengan bijak, jernih, dan percaya diri.

*) Dr. Zainal Muttaqin, S.Kom, M.I.Kom, CPR, CGAM. adalah Dosen Ilmu Komunikasi Unipdu Jombang dan Kepala Bagian Humas Kantor Gubernur Jawa Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *