Saat ini ketersediaan pangan menjadi perhatian negara negara di dunia. Tiap negara berusaha mengamankan stok pangan mereka sendiri. Termasuk negara-negara yang selama ini dikenal sebagai pemasok pangan utamanya beras. mereka mulai membatasi ekspornya. Situasi ini sangat dirasakan oleh Indonesia sebagai salah satu negara pengimpor beras untuk mencukupi kebutuhan pangan. Terjadinya inflasi karena kenaikan harga beras tidak bisa dihindari. Apalagi ketika luas panen secara nasional mulai turun saat musim kemarau. Tentu ironi, kita yang dikenal sebagai negara agraris ternyata untuk mencukupi kebutuhan pangan selalu tergantung dari impor.
Pemerintahan baru Prabowo-Gibran telah menetapkan swasembada pangan sebagai salah satu cita-cita pembangunan. Dalam asta cita kedua termaktub tujuan : Memantapkan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru.
Swasembada pangan. Atau kemampuan suatu negara untuk memenuhi kebutuhan pangan pokoknya secara mandiri tanpa bergantung pada impor. Kementerian pertanian bergerak cepat dengan berbagai programnya. Meningkatkan ketersediaan dan menata sistem distribusi pupuk, perbaikan irigasi, tiap daerah dinaikkan target luas tanam padi. Meningkatkan indeks pertanaman. Kalau selama ini lahan ditanam padi satu kali dalam satu tahun didorong menjadi dua kali padi dalam satu tahun. Yang dua kali didorong menjadi tiga kali. Juga dibuka lahan-lahan sawah baru untuk perluasan tanam padi. Harga Pembelian Pemerintah (HPP) baik untuk gabah maupun beras dinaikkan agar petani lebih bersemangat untuk menanam padi. Harga panen gabah setiap saat dipantau dan dilaporkan untuk menghindari harga jatuh. Termasuk menggerakkan aparatur TNI-Polri untuk mendukung percepatan swasembada pangan.
Suasana menggenjot produksi komoditas padi benar-benar dirasakan dari Sabang sampai Merauke. Termasuk di Kabupaten Jombang rata-rata per tahun yang berkisar antara 70.000 hektar tahun 2025 dinaikkan menjadi 81.250 hektar. Tentu ini harus didukung. Indonesia swasembada pangan. Tidak hanya swasembada pangan tetapi swasembada pangan yang berkelanjutan.
Namun mewujudkan swasembada pangan berkelanjutan menghadapi tantangan yang cukup besar. Setidaknya ada tiga tantangan besar untuk mewujudkan swasembada pangan berkelanjutan. Pertama, climate change. Perubahan Iklim di sektor pertanian. Kedua, menurunnya tingkat kesuburan tanah. Dan ketiga, Sumberdaya Manusia Pertanian. Inilah tiga tantangan besar mewujudkan swasembada pangan berkelanjutan.
Climate change atau perubahan iklim telah menjadi isu global. Dan ini memberikan pengaruh sangat besar pada pertanian. Apa artinya teknologi, sarana prasarana tercukupi ternyata kita tidak punya sistem yang responsif terhadap perubahan iklim. Terjadinya el nino atau kemarau yang lebih panjang sangat berpengaruh pada kemampuan dunia dalam memproduksi pangan yang cukup. Demikian juga sebaliknya ketika terjadi la nina atau musim penghujan yang lebih panjang. Banjir termasuk di lahan pertanian semakin sering terjadi. Potensi gagal panen juga semakin besar.
Dampak lain dari climate change adalah meningkatnya potensi serangan hama penyakit tanaman. Tentu para petani akan berupaya mengendalikan hama dan penyakit. Maka solusi yang populer adalah menggunakan pestisida. Dan ini seringkali ini dilakukan dengan tidak terukur. Akhirnya justru berdampak buruk bagi tanaman, tanah dan lingkungan. Dampak Perubahan Iklim telah nyata meningkatkan resiko banjir, kekeringan di lahan pertanian serta meningkatnya serangan hama penyakit tanaman.
Isu strategis kedua adalah menurunnya tingkat kesuburan lahan. Salah satu ukuran tingkat kesuburan lahan adalah kandungan C-Organik Tanah. Tanah dinilai subur apabila kandungan C-Organik berkisar antara 3-5%. Setelah dieksploitasi puluhan tahun melalui kegiatan budidaya yang intensif kondisi kesuburan tanah di Indonesia semakin turun. Rata-rata kandungan C-Organik tanah di Indonesia 1,66 %. Dengan kesuburan lahan yang rendah penggunaan pupuk akan cenderung tinggi dan kemudian sampai pada titik seberapapun pupuk ditambah produksi tidak bisa dinaikkan lagi.
Ditambah lagi kebiasaan petani membakar limbah pertanian. Limbah pertanian yang seharusnya bisa menjadi bahan organik untuk menyuburkan tanah justru dibakar. Tentu saja ini menyumbang polusi udara sekaligus menambah efek gas rumah kaca sebagai penyebab pemanasan global.
Rendahnya kandungan bahan organik tanah, rendahnya tingkat kesuburan tanah tentu berdampak pada biaya usaha tani yang semakin tinggi. Pemakaian pupuk yang tinggi untuk mengkompensasi kesuburan yang rendah. Termasuk pemakaian pestisida yang tinggi untuk mengendalikan hama penyakit tanaman. Ternyata peningkatan produksi belum tentu berbanding lurus dengan peningkatan pendapatan petani. Hitungan saat ini untuk rata-rata biaya produksi padi secara konvensional biaya produksi bisa mencapai 4.100/ kg gabah. Dengan HPP (Harga Pembelian Pemerintah) terbaru Rp. 6.500/ kg Gabah. Maka ada marjin Rp. 2.400/kg. Apabila luas kepemilikan rata-rata 0,35 hektar dengan panen mencapai 2,1 ton maka petani tersebut dalam satu kali musim tanam (4 bulan) mendapatkan hasil Rp. 5.040.000. Atau Rp. 1.260.000/bulan.
Ketiga, isu Sumberdaya Manusia Pertanian. Sektor pertanian yang menjadi salah satu andalan perekonomian saat ini justru semakin menua. BPS 2023 menyatakan jumlah petani usia 43-58 tahun saat ini mencapai 42,39 persen. Kemudian, petani usia 27-42 tahun mencapai 25,61 persen dan petani usia 59-77 tahun mencapai 27,61 persen. Dan 70 % dari petani di Indonesia berpendidikan Sekolah dasar.
Tahun 2023, Kementerian Pertanian mencatat, sebanyak 70 persen petani Indonesia hanya tamat Sekolah Dasar (SD) atau tidak tamat. Lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP) 17 persen. Petani yang lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) dibawah 15 persen. Sedangkan petani yang lulus perguruan tinggi (PT) jumlahnya kurang dari 2 persen. Ini adalah tantangan tersendiri. Sumberdaya pertanian yang semakin menua dengan tingkat pendidikan yang rendah sementara tantangan yang dihadapi semakin besar.
Inilah tiga tantangan utama mewujudkan swasembada pangan yang berkelanjutan. Dampak Perubahan iklim, kesuburan lahan yang semakin turun dan sumberdaya manusia pertanian.
Budidaya Tanaman Sehat dan Sekolah Lapang
Tentu saja cita-cita mewujudkan swasembada pangan harus didukung penuh. Namun bukan sekedar swasembada pangan tapi juga swasembada pangan yang berkelanjutan. Salah satu upaya mewujudkan adalah melalui penerapan Budidaya Tanaman Sehat. Yaitu cara budidaya yang mengedepankan keragaman dan kelestarian agroekosistem.
Mengembalikan bahan organik ke sawah. Tidak membakar jerami dan limbah pertanian lainnya. Melainkan dikembalikan ke lahan untuk mengembalikan kesuburan lahan. Menambahkan dekomposer untuk mempercepat dkomposisi limbah pertanian di lahan. Meningkatkan pemakaian pupuk organik. Menggunakan pupuk an organik sesuai takaran.
Selain itu sangat penting menerapkan pengolahan lahan yang benar. Memanfaatkan bahan-bahan lokal sebagai penyubur tanah dan nutrisi tanaman. Memanfaatkan aneka mikroba lokal untuk mengembalikan kesuburan lahan juga mengendalikan hama penyakit tanaman. Juga melakukan upaya melestarikan musuh alami atau predator untuk mengendalikan hama penyakit tumbuhan. Ternyata setiap hama memiliki musuh / predator/ pemangsanya sendiri. Hama tikus bisa dikendalikan dengan populasi burung hantu yang terjaga. Wereng dan berbagai hama tanaman ternyata bisa dikendalikan oleh aneka kepik, kumbang, capung dan berbagai satwa predator lainnya. Pelestarian musuh alami adalah bagian dari rekayasa budidaya tanaman sehat untuk mengendalikan hama penyakit tanaman.
Kalau selama ini para petani mengandalkan herbisida untuk mengendalikan rumput/gulma, maka dengan pengolahan lahan yang tepat pertumbuhan gulma bisa ditekan. Selanjutnya sisa gulma yang tumbuh bisa dikendalikan secara manual atau menggunakan alat yang tepat untuk mengurangi atau mengganti peran herbisida.
Melalui sistem Budidaya Tanaman Sehat petani juga dilatih untuk memproduksi sendiri aneka bahan pengendali hama penyakit berbasis hayati. Aneka mikroba, jamur dan bakteri yang terseleksi bisa digunakan untuk mengendalikan hama penyakit sekaligus menyuburkan lahan. Fungsi-fungsi yang bisa diperankan oleh berbagai mikroba dalam lingkungan persawahan antara lain sebagai dekomposer melalui siklus unsur hara tanah dan tanaman. Sebagai biofertilizer atau pupuk hayati melalui mekanisme penambat unsur N dari udara, pelarut unsur P dan K dalam tanah. Bisa sebagai bio stimulan atau hormon pertumbuhan. Bisa juga sebagai bioprotectant yang berfungsi melindungi tanaman dari hama penyakit.
Berbagai bahan alami itu bisa dibuat sendiri oleh para petani. Tentu melalui serangkaian kegiatan edukasi dan pendampingan (Sekolah Lapang). Tidak hanya satu musim melainkan sebuah proses pendampingan sampai terbangun keberdayaan.
Praktek budidaya tanaman sehat tidak hanya mendukung kesuburan lahan, keanekaragaman hayati dan perbaikan produksi. Melalui praktek budidaya tanaman sehat akan berdampak pada penurunan biaya usaha tani. Kalau budidaya padi secara konvensional setiap kilo gabah dikeluarkan biaya mencapai Rp. 4.100. Sementara dengan budidaya tanaman sehat yang benar biaya produksi bisa ditekan sampai separuh. Per kilo gabah dibutuhkan biaya Rp. 2.100. Dengan biaya yang lebih hemat tentu ini akan berdampak pada peningkatan pendapatan petani.
Budidaya Tanaman Sehat mengedepankan cara budidaya yang menjaga keanekaragaman dan kelestarian agroeksosistem. Sebagaimana fitrah agroekosistem itu sendiri yang telah diciptakan dalam kondisi seimbang dan lengkap. Menurut hemat saya Budidaya Tanaman Sehat adalah bentuk dari budidaya pertanian yang Rahmatan lil Alamin. Yang memberdayakan dan menjaga fitrah keseimbangan manusia dan lingkungan pertanian.
Selanjutnya dimana peran ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) di tengah perjuangan mewujudkan swasembada pangan berkelanjutan. Di tengah berbagai tantangan Perubahan iklim, kesuburan lahan dan keterbatasan sumberdaya manusia pertanian. Tentu saja ini menjadi PR besar bagi ICMI untuk semakin membumi. Selamat dan Sukses Silaturahmi Kerja Wilayah ICMI Jatim. Tahun 2025.
*Tentang Penulis :
- ICMI Korda Jombang Divisi Pertanian
- ASN di Dinas Pertanian Kabupaten Jombang