Sebuah artikel di majalah sejarah online Historia berjudul Bupati Jombang Veteran Perang Aceh menggoda pembaca untuk mengklik tautan di: http//historia.id/militer/articles/bupati-jombang-veteran-perang-aceh-vqZzZ. Penulisnya Petrik Matanasi, diunggah pada 3 Maret 2025 lalu. Bagi pembaca yang berasal dari Kabupaten Jombang Provinsi Jawa Timur, tulisan itu cukup menarik. Apalagi disertai foto Bupati Jombang pertama, Raden Adipati Ario (RAA) Soeroadiningrat V yang di masa mudanya bernama Raden Setjonegoro (bukan Raden Ario (RA) Setjo Negoro). Sementara bagi para anggota komunitas penelusur dan pelestari sejarah di Jombang, judul itu juga memicu rasa keingintahuan lebih mendalam. Sebab, selama ini belum ada keterangan yang menyebutkan jika bupati pertama Kabupaten Jombang (1910-1930) itu pernah berkarir di militer. Lebih-lebih seorang veteran Perang Aceh pada 1875-1876.
Deker di bawah judul dari artikel Petrik langsung dibuka dengan dua kalimat: Titian kariernya dimulai dari sersan KNIL, anak bupati ini berprestasi baik di Perang Aceh. Kerja keras RA Setjo Negoro berbuah jabatan bupati.
Namun sayangnya, setelah membaca dan mengkaji seluruh materi tulisan karya Petrik Matanasi itu, ternyata terdapat kesalahan yang fatal. Sosok yang digambarkan sebagai veteran Perang Aceh pada 1875-1876 bernama RA Setjo Negoro itu bukanlah Raden Setjonegoro yang lahir di Sidayu Gresik yang nantinya menjadi bupati pertama Kabupaten Jombang (1910-1930). Tetapi seseorang lain yang kebetulan bernama sama yaitu RA Setjo Negoro yang berkarir militer di KNIL sejak awal. Dia adalah seorang pangeran muda berasal dari keraton Sumenep Madura. Bergabung di kesatuan militer yang dikenal dengan nama De Barisan-Korpsen Op Madoera. Karir militernya moncer, mulai berpangkat sersan hingga meraih pangkat de 2e luit. bariss. (dibaca: de tweede luitenan barissan) alias Letnan Dua dari kesatuan De Barisan-Korpsen Op Madoera

Sementara Raden Setjonegoro yang lahir di Sidayu Gresik sekitar tahun 1860-an, sejak awal berkarier di pemerintahan sipil. Tidak sekalipun ditemukan catatan dia pernah menjadi tentara apalagi sampai ke Aceh. Setelah lahir di punya nama kecil sebelum pupak puser (copot tali pusarnya): Bagus Badrun. Setelah itu menyandang nama setelah pupak puser dan dewasa: Raden Setjonegoro. Di kemudian hari, setelah menjabat resmi sebagai bupati menyandang gelar Raden Adipati Ario (RAA) Soeroadiningrat V.
Silsilahnya dari jalur laki-laki, kakeknya yang menjabat Bupati Sidayu sampai tahun 1855 bernama RAA Soeroadiningrat III (kelahiran 1787 dan wafat usia 68 tahun pada 1855). Sedangkan ayahnya juga menjadi Bupati Sidayu tahun 1855-1884, bernama RAA Soeroadiningrat IV yang wafat tahun 1884.
Jenjang karir R Bagus Badrun alias R Setjonegoro alias RAA Soeroadiningrat V
- Lahir sekitar = 1860, dengan nama lahir Raden Bagus Badrun. Setelah dewasa menyandang nama Raden Setjonegoro.
- Lulus dari OSVIA = sekitar 1883.
- Magang bekerja di kantor Asisten Residen di Jombang di bawah AR Ketting Olivier = sekitar 1883.
- Menjadi Kanjeng Wedono di Distrik Mojorejo = 5 Maret 1883 – 8 Maret 1890.
- Dilantik sebagai Bupati Kabupaten Sidayu (belum menyandang gelar Ario Adipati) = 1884 – 1910.
- Menjadi Jaksa di Sidayu = 8 Maret 1890 – 8 Juli 1891.
- Menjadi Ajun Jaksa dengan penempatan di Babat = 8 Juli 1891.
- Saat menjabat Bupati Kabupaten Sidayu, berhak atas gelar Raden Ario = 1894.
- Saat menjabat Bupati Kabupaten Sidayu, berhak atas gelar Raden Ario Adipati = 1908.
- Dilantik sebagai Bupati Kabupaten Jombang = 1 Desember 1910 dengan nama RAA Soeroadiningrat V.
- Pada 25 Oktober 1913 mendapat penghargaan Gele Songsong (G.S) atau gouden pajong alias Payung Emas.
- Pada 5 Maret 1924 mendapat penghargaan berupa Ridder der Orde van Oranje-Nassau.
- Pada 1930 mendapat penghargaan berupa Ridder der Orde van den Nederlandschen Leeuw.
- Pensiun dari jabatan bupati tanggal 8 April 1930.
- Wafat tanggal 20 April 1946, dimakamkan di Pulo Sampurno Jombang

Di paragraf ketujuh, Petrik menulis ketika muda Ario Setjo berpangkat sersan di KNIL di Barisan Bangkalan, bagian dari Korps Barisan Madura. Menyitir koran Java Bode edisi 6 Oktober 1875, Ario Setjo naik pangkat menjadi Letnan Dua (Letda). Kemudian ikut perang di Aceh di daerah bernama Kotta Alam dan Oleh Karang.

Setelah mengisahkan kehebatan Ario Setjo di medan pertempuran Aceh, berdasar tulisan Pieter Brooshooft dalam Geschiedenis van den Atjeh-Oorlog, 1873-1886, Petrik menulis Letnan Ario Setjo mendapat penghargaan Ridder de 4e klasse van de Militaire Willemsorde berdasar besluit no 24 tanggal 21 Juni 1877. Anehnya, Letnan Ario Setjo kemudian mengundurkan diri dengan alasan usia dan tidak sehat. Jadi, apakah ini berarti Letnan Ario Setjo sudah berusia tua di tahun 1877 itu? Jadi usia berapa dia di tahun 1877 itu? Sayangnya tidak disebutkan.
Lebih aneh lagi, Petrik kemudian menulis jika Letnan Ario Setjo setelah mundur dari dinas militer malah melanjutkan hidup dengan bekerja di pemerintahan menjadi pegawai sipil. Menyitir berita di koran Soerabaijasch Handelsblad edisi 6 Maret 1929, Ario Setjo mengaku menjadi juru tulis tidak digaji di bawah wedana Distrik Mojokerto. Lalu mundur lagi sejak tahun 1890 menjadi juru tulis jaksa di Sidayu. Ini kok melompatnya jauh sekali dari 1877 ke 1929. Apakah salah ketik? Mungkin yang dimaksud tahun 1909 atau 1902. Jeda dari 1877 ke 1929 saja sudah 52 tahun lho.
Kemudian bekerja di kantor wedana Distrik Mojokerto, ini tampaknya Petrik salah ketik atau salah baca. Seharusnya Distrik Mojorejo (nama lama sebelum menjadi Jombang) bukan Mojokerto. Para anggota komunitas pelestari sejarah di Jombang sudah mengumpulkan arsip, foto dan dokumen bupati R Setjonegoro alias RAA Setjoadiningrat, sesuai urut-urutan karinya sebagai berikut:
- Lulus dari sekolah pegawai OSVIA = sekitar 1883
- Magang bekerja di kantor asisten residen di Jombang di bawah AR Ketting Olivier = sekitar 1883
- Menjadi Kanjeng Wedono di Distrik Mojorejo = 5 Maret 1883 – 8 Maret 1890
- Dilantik sebagai Bupati Kabupaten Sidayu (belum menyandang gelar Ario Adipati) = 1884 – 1910
- Menjadi Jaksa di Sidayu = 8 Maret 1890 – 8 Juli 1891
- Menjadi Ajun Jaksa dengan penempatan di Babat = 8 Juli 1891 – 1894
- Saat menjabat Bupati Kabupaten Sidayu, berhak atas gelar Raden Ario = 1 Maret 1894
- Saat menjabat Bupati Kabupaten Sidayu, berhak atas gelar Raden Ario Adipati = 1908
- Dilantik sebagai Bupati Kabupaten Jombang = 1 Desember 1910 dengan nama RAA Soeroadiningrat V.

Puncak blunder dari tulisan Petrik terletak di dua paragraf terakhir. Maksud hati ingin mengakhiri artikel dengan manis, rupanya Petrik bingung membedakan antara nama kecil RAA Soeroadiningrat (Raden Setjonegoro) dengan anak kandung bupati pertama Jombang itu yang bergelar RAA Setjoadiningrat. Sehingga, di paragraf akhir itu tertulis pada 23 November 1910 ia diangkat menjadi bupati Jombang sama seperti ayahnya yang juga dimutasi menjadi bupati Jombang setelah menjadi bupati Sidayu. Kalimat terakhir paling tidak masuk akal. Veteran Perang Aceh dengan bintang Ksatria itu meninggal sekitar 1962. Nyatanya, yang meninggal tahun 1963 adalah RAA Setjoadiningrat (bupati kedua Jombang). Sedangkan bupati pertama Jombang RAA Soeroadiningrat V (Raden Setjonegoro) meninggal tahun 1946.

Padahal RAA Soeroadiningrat IV (ayahanda Raden Setjonegoro) tidak pernah dimutasi menjadi bupati Jombang. Dia juga menjadi bupati pertama Kabupaten Jombang bukan karena jasanya di Perang Aceh. Tetapi, sebagai pengganti jabatan bupati karena Kabupaten Sidayu dilikuidasi/ditutup oleh pemerintah kolonial. Sebagai kompensasi atas penutupan Kabupaten Sidayu, dibukalah Kabupaten Jombang sebagai pemecahan dari Kabupaten Mojokerto. Karena Raden Setjonegoro sebelumnya sudah menjadi Bupati Sidayu dengan gelar Raden Ario (belum RAA), maka ditunjuk menjadi bupati Jombang pertama yang dilantik pada 1 Desember 1910 berdasar besluit tanggal 21 Oktober 1910.

Kebingungan Petrik dimulai dari ketidakkonsistenannya sendiri menulis nama orang. Dari awalnya Raden Ario Setjo Negoro (pangeran dari Sumenep Madura, serdadu KNIL) ditulis hanya Ario Setjo. Lalu, meloncat menyamakan Raden Ario Setjo Negoro dengan nama kecil bupati pertama Jombang Raden Setjonegoro. Akhirnya bingung sendiri dengan nama anak bupati Jombang pertama yang juga kebetulan hampir sama, yang bernama RAA Setjoadiningrat yang sebenarnya punya nama kecil yaitu Raden Sarwadji.
Kesimpulan akhir setelah membaca artikel Petrik, di sini jelas-jelas telah terjadi kesalahan menggabungkan riwayat hidup dari dua tokoh yang berbeda asal-usul, beda daerah asal, beda keturunannya, namun kebetulan punya nama yang sama. Saran untuk penulis, ke depan agar lebih berhati-hati dalam menulis riwayat hidup seseorang. Apalagi jika itu seorang tokoh. Kedua, supaya tidak bingung, agar konsisten dalam menuliskan nama seorang tokoh sejak awal hingga akhir tulisan. Tetap semangat mas Petrik Matanasi.
Moch. Faisol
*) Penelusur sejarah Jombang, anggota Komunitas Pelestari Sejarah (Kompas) Jombang